Dolar Kian Galak pada Rupiah, Ketahanan Keuangan RI Mulai Tergerus

Ilustrasi: Lembaran dolar AS dan rupiah Lembaran mata uang rupiah dan dolar AS. (ANTARA FOTO/Puspa Perwitasari/pri)

Editor: Yoyok - Senin, 17 Oktober 2022 | 09:00 WIB

Sariagri - Nilai tukar rupiah jatuh dan mata uang asing di pasar obligasi Indonesia hengkang memicu kekhawatiran bahwa ekonomi terbesar di Asia Tenggara ini akhirnya mulai tergerus setelah berbulan-bulan ketahanan yang luar biasa terhadap sejumlah tantangan global.

Padahal, Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) mencatat kinerja terbaik di Asia dan rupiah hanya menyusut 3 persen dalam enam bulan hingga akhir Agustus terhadap dolar AS yang begitu perkasa. Bandingkan dengan won Korea Selatan dan baht Thailand yang anjlok lebih dari 10 persen.

Itu pertengahan tahun ini. Sebab, September membawa perubahan yang lebih buruk karena rupiah melorot 2,5 persen, penurunan bulanan terbesar tahun ini, dan sejalan dengan rekan-rekannya di Asia. Kondisi ini mendorong analis dan investor untuk meningkatkan alarm atas risiko lama yang sudah dikenal: cadangan mata uang yang berkurang, meningkatnya utang obligasi dan pelarian modal asing.

"Ini semacam efek mengejar ketinggalan," kata Galvin Chia, analis NatWest Markets, seperti dikutip Reuters, Senin (17/10/2022). 

Chia menuding kejatuhan rupiah lebih akibat faktor eksternal yang bergejolak termasuk penguatan dolar tanpa henti.

Namun kali ini, menurut pakar pasar, akan berbeda, karena ekonomi dan kebijakan moneter Indonesia yang relatif solid akan membantunya melawan pukulan seperti dialaminya dalam krisis di masa lalu.

"Indonesia masih memiliki bank sentral, setidaknya sekarang, lebih proaktif, dan memiliki banyak kredibilitas, dan Indonesia masih memiliki penarik dari komoditas," kata Ihab Salib, Senior Portfolio Manager Federated Hermes.

"Saya pikir semua itu bersama-sama, bagi saya, menunjukkan Indonesia mungkin mengungguli secara relatif."

Kerentanan historis rupiah disebabkan statusnya sebagai carry trader imbal hasil yang lebih tinggi namun berisiko, menarik kepemilikan asing yang tinggi atas obligasi Indonesia ketika imbal hasil di pasar negara maju menawarkan return yang relatif kecil.

Tercatat, selama siklus pengetatan Federal Reserve sebelumnya pada 2018, rupiah jatuh ke posisi terendah selama beberapa dekade. Sedangkan saat taper tantrum 2013 rupiah anjlok 20 persen.

Harga Komoditas Jadi Kekuatan Penahan

Tetap, kenaikan harga komoditas menjadi penahan tahun ini, dengan melebarnya surplus neraca transaksi berjalan memberikan perlindungan terhadap arus keluar modal. Kepemilikan asing atas obligasi Indonesia, yang pernah menguasai setengah pasar satu dekade lalu, juga lebih rendah, sekitar 14 persen.

Namun, keuntungan yield Indonesia menguap karena tingkat imbal hasil di tempat lain naik lebih cepat. Arus keluar dari pasar obligasi, di mana imbal hasil setingginya 7 persen, mencapai 11 miliar dolar AS dalam tiga kuartal pertama 2022, hampir dua kali lipat dari USD5,7 miliar untuk 2021.

"Saya menduga ini lebih merupakan reaksi yang tertunda," kata Wisnu Varathan, Head of Economics and Strategy Mizuho Bank, merujuk pada kejatuhan rupiah.

"Ada beberapa faktor luar biasa, tetapi tidak satu pun dari ini akan memberikan obat mujarab semacam itu untuk risiko yang mendasarinya yang tersisa."

Tanpa tanda-tanda bahwa dolar yang melonjak akan mencapai puncaknya dalam waktu dekat, Varathan menyoroti risiko bahwa kewajiban utang luar negeri Indonesia dan penyusutan cadangan mata uang dapat menjadi kekhawatiran pada saat bersamaan pengetatan kebijakan domestik memukul pertumbuhan.

"Jika hal ini mulai berkonspirasi, kita bisa mendapatkan episode capital outflow yang cukup mendadak."

Bulan lalu, cadangan devisa Indonesia melorot 1,4 miliar dolar AS menjadi 130,8 miliar dolar AS, karena pembayaran utang dan upaya Bank Indonesia untuk menstabilkan rupiah.

Data untuk September juga menunjukkan lonjakan inflasi Indonesia ke level tertinggi dalam tujuh tahun, yang mencerminkan kenaikan harga bahan bakar.

Pasar saham tetap menjadi titik terang, karena investor berspekulasi bahwa harga minyak dan sumber daya lain yang diekspor Indonesia akan tetap tinggi. IHSG , melesat lebih dari 3 persen (year-to-date) pada penutupan Jumat, adalah di antara segelintir bursa ekuitas yang naik tahun ini, bersama dengan Indeks Bovespa Brasil yang meroket hampir 7 persen.

Bank Indonesia, yang hingga saat ini merupakan salah satu bank sentral  dovish  terakhir di dunia dan menimbulkan kekhawatiran tentang kepuasan atas inflasi, juga meyakinkan pasar bulan lalu dengan kenaikan suku bunga yang sangat agresif sebesar 50 basis poin, yang dijadikan sebagai tindakan pencegahan untuk mengendalikan dalam ekspektasi inflasi.

Baca Juga: Dolar Kian Galak pada Rupiah, Ketahanan Keuangan RI Mulai Tergerus
Akhir Pekan, Dolar Keok di Asia, Rupiah Naik Jadi Rp14.830 per Dolar AS

"Indonesia tetap menjadi cerita yang sangat bagus dalam portofolio Asia," kata Rajat Agarwal, analis Societe Generale SA.

Agarwal menjelaskan, kalau melihat konsumsi, lihat pertumbuhan kredit, semuanya domestik, tidak seperti pasar ekspor lain di Asia. “Indonesia akan menjadi salah satu pasar yang lebih tangguh dalam kondisi saat ini," pungkasnya.